Revenge (Our Problem, #3) - Bagian 20
Pukul satu pagi,
Alya melirik jam dinding yang ada di lobi. Kepalanya masih terasa berputar
mencari informasi tentang apa yang sedang terjadi, meninggalkan ekspresi tidak
jelas antara awas dan bingung. Fauzi, jujur saja, selalu ingin tertawa melihat
ekspresi itu, ekspresi bangun tidur Alya dalam keterkejutan bisa dikatakan
lucu, gadis itu seolah berusaha menipu semua orang bahwa sejak awal ia tidak
tidur sama sekali. Yang jelas-jelas gagal.
Tapi itu bukan fokusnya
untuk saat ini. Pukul satu pagi, rumah sakit sepi bukan main. Masih terdengar
suara kasak-kusuk obolan para perawat yang jaga malam di ruang perawat, tapi
selebihnya, hanya suara angin malam dan nyanyian jangkrik yang bisa mereka
dengar. Dan Fauzi rasa, empat jam tadi ckup untuk gadis itu tadi beristirahat.
Yah, jika mengingat Alya habis menggotong dua pria dewasa, berkeliling rumah sakit
membangunkan orang-orang selama enam jam dan tidak lupa jelas-jelas kurang
tidur sejak pagi, sepertinya masih kurang, sangat kurang malah. Ia sendiri terkejut,
bagaimana gadis ini bisa punya ketahanan fisik sekuat itu?
Dan mengabaikan
tatapan kesal Alya—baiklah aku akan tidur
satu jam, bangunkan aku, kata Alya empat jam lalu—memberi kode agar mereka
segera bergerak. Pukul satu pagi, seharusnya tak akan ada yang sadar kalau mereka
pergi. Yah, lagipula, kalau orang seperti Leon dan anak buahnya bisa masuk
tanpa kesulitan berarti, kenapa Fauzi dan Alya tak bisa keluar tanpa di
curigai?
“Ada rental sepeda
sekitar lima puluh meter dari toko swalayan yang kita kunjungi kemarin, kau
bawa uang?”
Alya mengangguk,
“Bagus. Kau bisa keluar
dengan mudah lewat pintu depan. Lalu cepat pergi ke rental itu dan pinjam dua
sepeda, yang ada boncengannya. Sedangkan aku,” Fauzi menghela nafas sebentar “karena
statusku saat ini sebagai pasien, tak akan ada yang santai melihatku berjalan
malam-malam. Sulitnya, semua orang rumah sakit ini mengenalku, jadi kupikir aku
akan ambil rute yang lebih jauh”
“Setelah itu?” Alya
bertanya “Aku harap kau ingat kalau aku tak mau ini jadi misi mati konyol”
“Kita akan berusaha
sebisa mungkin menipu Leon, tapi aku sendiri tidak yakin” dan hal tersebut
terang-terangan terpancar dari wajahnya. Tujuan utama Fauzi saat ini cukup
sederhana, ia hanya ingin menyelamatkan Faiza dan Aldo—dan dengan semua
nalurinya untuk menghindari bahaya—maka rencananya pun sederhana.
Alya menyadari ini.
Tapi kalau mengingat orang-orang ini mengejar mereka terus-menerus, bisa-bisa
hidup mereka tak akan pernah tenang sampai kapan pun. Ia juga sadar itu ambisi
yang terlalu tinggi, tapi Alya ingin ... setidaknya memastikan kalau mereka
tidak akan di buru lagi.
“Soal itu biar aku
yang urus” ujar Alya tiba-tiba “pertama-tama kita selamatkan Faiza dan Aldo
dulu”
Fauzi mengangguk,
dan dengan begitu mereka berdua berpisah.
Hampir semua sudut
rumah sakit diberi perlengkapan CCTV. Dan meski kesal jika ia ingat soal
penculikkan Faiza yang terkesan sangat mudah akibat pembajakkan frekuensi,
Fauzi tetap tidak bisa mengabaikannya. Tujuan utamanya adalah mendapatkan adik
dan sahabatnya kembali, tujuan minornya adalah tidak membuat siapapun khawatir,
terutama ibunya. Jadi Fauzi memutar otak.
Eh, mereka tak mungkin
memasangnya di kamar mandi kan? Fauzi segera memeriksanya, dan mendapati bahwa
dirinya benar. Dan senyumnya terkembang ketika melihat jendela kecil di atas
dudukkan toilet. Tidak terlalu besar memang, tapi kalau dikira-kira sepertinya
ia akan cukup masuk ke sana, lagipula postur tubunhnya juga tidak terlalu besar.
Satu-satunya
masalah adalah posisi jendela itu. Fauzi mungkin saja mencapainya dengan
berdiri di atas dudukkan toilet dan memanjat. Hanya saja, turun nanti mungkin akan
menyakitkan. Dan kalau ia tidak salah ingat, gedung ini dibangun di tanah yang
tidak rata. Dengan kata lain ada kemungkinan kalau tanah pijakkannya bisa jadi
lebih rendah daripada ruang kamar mandinya.
Fauzi mengurut kening,
dia tidak mau ambil resiko tulangnya patah karena jatuh. Setelah ini dia masih
harus bersepeda ke rumah Dokter Kamil dan seingatnya medannya sama sekali tidak
nyaman untuk dilewati orang patah tulang.
Ia keluar kamar
mandi dengan gelisah. Matanya melihat keseliling dan melihat ibunya tidur di
sofa tanpa selimut. Perasaan sedih memenuhi dadanya, ia juga bertanya-tanya kenapa
hal buruk pada keluarganya. Belum lagi, ayah yang jarang sekali pulang, dalam
setahun kepulangannya bisa dihitung jari. Kali ini perasaan bangga menelusup di
antara rasa sedihnya. Ibunya wanita yang kuat.
Fauzi berjalan keranjangnya
sendiri dan menarik selimut. Ia berniat menyelimuti ibunya, tapi sebuah ide
lain tiba-tiba terpikir olehnya. Pelan-pelan diletakkan selimut itu di lantai
dan ia mulai menarik spray kasurnya. Selimutnya terlalu tebal untuk ia jadikan
tali, tapi spray kasurnya lain.
Fauzi
mengendap-endap lagi ke kamar mandi dan mengikat ujung kain itu di selot
pengunci jendel yang bentuknya seperti gagang pintu. Ia kemudian kembali untuk
menyelimuti ibunya. Saat ia hedak masuk lagi ke kamar mandi, ia mendengar
ibunya memanggilnya. Ia menghela nafas, lalu berbalik.
Sebelum ia sempat
melontarkan kebohongan, ibunya menyahut.
“Hati-hati”
***
Fauzi meringis,
dugaannya benar. Tanahnya tidak rata, dan meski dengan bantuan selimut itu, dia
tetap jatuh dengan menyakitkan.
Tapi ia tak bisa
berlama-lama berdiri disana sambil mengelus-elus pantatnya. Alya pasti sudah
menunggu sekarang, dan begitu juga dengan Aldo dan Faiza. Kata-kata ibunya tadi
terdengar aneh, mungkin ia mengigau. Tapi tetap saja ia menjadi lebih tenang
setelah mendengarnya. Entah ibunya memang mendukungnya untuk membawa Faiza
pulang atau ia sudah lelah dengan semua hal aneh yng menimpa anak-anaknya.
Tetap saja, rasanya seolah ibunya bedoa untuk keselamatannya sendiri.
Dan sekarang,
ditambah ia sudah tau siapa musuhnya. Fauzi tak akan ragu lagi, ia tidak akan
mengabaikan instingnya lagi, ia tak akan mengindahkan rasa takutnya lagi, toh
itu membuatnya jadi waspada dan akan menyetirnya pada keberhasilan.
Fauzi berjalan, ia
berada di bagian ujung kompleks rumah sakit. Sebuah tembok tinggi berdiri gagah
di hadapannya, membatasi dirinya dengan jalanan. Nah, sekarang apa yang harus ia
lakukan? Dari arah datangnya, Fauzi tau ia ada di belakang gedung rawat inapnya.
Jika ia ke kiri, dan berbelok, ia akan melihat jendela kamarnya sendiri dan
jalan utama menuju gerbang. Sama halnya jika ia ke kanan. Dengan kata lain
buntu.
Satu-satunya kesempatan
adalah tembok di hadapannya ini. Baiklah, ujarnya dalam hati, tak ada pilihan lain. Fauzi meraba
pinggiran tembok itu, cukup kasar dan ada beberapa lekukan yang bisa ia jadikan
piakkan. Untung saja bagian atasnya tidak ditempeli benda tajam. Mungkin karena
pihak rumah sakit tidak berpikir akan ada pencuri yang memanjat dari sisi
lainnya.
Tunggu dulu, Fauzi
menelan ludah, mungkin bukan karena tak akan ada yang memanjat, tapi tak ada
yang bisa memanjat. Dan sebelum
sempat memikirkan alasannya, Fauzi terpaku melihat bagian bawah sisi lain tembok
itu. Tentu saja, sama seperti ia mendapati sisi lain kamar mandi lebih rendah
dari pada kamar mandinya, bagian lain tembok itu juga begitu.
Dan lebih parah,
ada selokan di sana. Fauzi sudah selamat dari kemungkinan patah tulang karena
jatuh dari jendela kamar mandi, dan sekarang ia medapat peluang untuk mengerang
di selokan. Sungguh tidak elegan.
Persetan! Serunya dalam hati. Fauzi
memilih untuk melompat ke depan. Kalau ia beruntung, ia akan sampai di jalanan
alih-alih di selokkan. Mungkin rasa sakitnya tidak berbeda, tapi setidaknya ...
Fauzi juga tidak tau kenapa berpikir ide itu lebih baik.
Sayang pemilihannya
waktunya tidak tepat. Fauzi melompat dan dari sudut lompatanya ia tau ia akan
sampai di jalan dengan kaki duluan, hanya saja saat itu sebuah mobil datang
dari arah kanannya sambil membunyikan klakson keras-keras.
Fauzi refleks
melakukan gerakan berputar begitu sampai di jalan, sehingga ia terduduk di
seberang jalan. Pengemudi mobil tadi meneriakkan sumpah serapah sambil bergerak.
Sedangkan Fauzi susah payah menenangkan diri. Jantungnya berpacu terlalu cepat
sampai ia rasanya lupa caranya bernafas. Tadi itu nyaris sekali.
Tak ada waktu untuk
memikirkan bagaimana Fauzi bisa melakukan roll depan sempurna—sementara selama
ini selalu gagal dalam tes olahraga—ia harus segera ke Alya.
Komentar
Posting Komentar
Minta kritik/saran/pendapatnya dong^^