Revenge (Our Problem, #3) - Bagian 15
Leon
bertepuk tangan tiga kali. Lily memicingan matanya, memperhatian pria itu
dengan seksama.
“Ingatan
yang tajam, otak yang cemerlang, aku jadi berpikir sayang sekali kau
meninggalkan Lacertuor” ujarnya jujur.
“Untuk
apa kau kemari? Membungkamku?” Lily mempererat pegangan pisaunya. Makhluk dihadapannya ini adalah salah
satu dari empat ancaman terbesar yang ia tahu.
“Awalnya,
ya, tapi melihat tindakanmu barusan, aku jadi berubah pikiran” kata Leon sambil
menoleh ke arah Fauzi. “Maksudku, kau mungkin tidak semenyedihkan yang kukira
sebelumnya”
“Kalau
kau sudah selesai, pintu keluar ada di sebelah sana” desis Lily.
Leon
mengangkat sebelah alisnya, “Itu saja? kau tak berniat melaporkanku ke polisi
atau semacamnya? Karena sebenarnya, hanya itu ancaman yang kupikir ada padamu”
Lily
mengerutkan kening, pria ini, apa dia benar-benar menggunakan otaknya untuk
berpikir? Kalau Lily melapor pada polisi, ia juga harus bercerita tentang
Lacertuor, tentang bagaimana dirinya sendiri pun terlibat di dalamnya. Dengan
kata lain, ia juga akan habis.
“Jadi
begitu ya? Enam bulan berlalu dan omong kosong idealisme itu masih belum cukup
untuk membuatmu berani” ucap Leon seolah bisa membaca pikirannya. “Kau mungkin
berpikir aku bodoh, tapi coba lihat dari sudut pandangku. Seorang plonco
rendahan mengetahui semua rahasia Lacertuor tapi tak cukup nyali untuk
mengatakan kebenaran setelah mengusir dirinya sendiri dari Lacertuor. Bagiku
itu hanya berarti satu hal, hidup dalam
ketakutan. Entah kau akan di kejar polisi, atau dikejar oleh kami”
Leon
berdiri, melangkahi meja tamu dan menumpahkan gelas-gelas jus jeruk di atasnya,
kemudian duduk seenaknya di atas meja. Ia bahkan nampak tak peduli kalau ujung
pisau Lily sudah tepat berada di perutnya.
“Aku
kasihan padamu”
Suara
Leon melembut, Lily memandang wajahnya. Mata cokelat, kulit pucat, dan rambut
merah. Awalnya Lily juga tidak mengenalinya di pintu depan tadi, baru ketika ia
mendengar suaranya ia yakin dia orang yang sama yang mencuri flashdisknya, orang yang sama yang
membuat tawanannya menghilang tanpa jejak. Diapakan tawanannya itu oleh orang
ini? Mereka selalu bilang itu hal yang mengerikan, bahwa lubang dikepala bahkan
lebih baik. Tapi apa maksudnya?
Leon
menangup tangannya, tangannya sedingin es. Lily tau ia bisa menikam orang ini
saat ini juga, darah akan mengalir membasahi karpet rumahnya. kemudian ia bisa
membersihkannya sebelum kak Owl pulang, seolah tak ada yang pernah terjadi.
Setelah itu mengantar Fauzi pulang sebelum ia sadar dan berkata bahwa ia
bermimpi.
“Aku
bisa menolongmu, Lily” kata-kata Leon memotong lamunannya. Tunggu, apa dia baru
saja melamun? Tiba-tiba saja, ia sadar kalau pengangan pada pisaunya mengendur.
“Yang harus kau lakukan” katanya “hanya kembali pada kami”
Lily
mengumpulkan kekuatan pada lengannya, bersiap mendorong. Tapi entah sejak kapan
tangan Leon sudah ada dibahunya, dan mendorongnya kebelakang, membatalkan apa
saja yang baru ingin Lily lakukan.
“Kau
tidak mengerti” orang itu agak berteriak sekarang “membunuhku memang
membuktikan kau sanggup, tapi begitu aku mati, itu tak berguna lagi.
Sebaliknya,” tangannya yang lain menarik tangan Lily melewati samping
pinggulnya “membunuh anak itu berarti kesetiaan. Dan hei, kau sudah melakukan
setengah pekerjaan itu dengan membiusnya”
Mata
Lily membelalak, ia mendorong sekuat tenaga. Tapi Leon tidak bergeming.
Malahan, tangguban tangannya semakin kuat, tak terasa pisau itu sudah berbalik
arah pada Lily.
“Hati-hati,
kau bisa membunuh dirimu sendiri” katanya dengan suara yang amat meyakinkan.
“kau lebih berguna di Lacertuor, dari pada di sini”
Lily
meringis, ia tak tau harus berbuat apa.
“Apa-apaan
...” ungkapan keterkejutan itu tidak datang dari Lily, maupun Fauzi, apalagi
Leon. Malah, asalnya dari pintu depan. Wajah horor Profesor Owl meneliti
ruangan itu, Fauzi yang pingsan, jus jeruk yang berantakkan, dan paling parah, ujung
pisau di perut Lily.
Leon
tak buang-buang waktu. Ia langsung menikam sedikit dari pisau dapur itu ke
perut Lily. Terkejut, Lily kehilangan kekuatan pada tangannya, fokusnya teralihkan
pada rasa sakit di perutnya. Leon menangkap tubuhnya yang terjatuh, menopang
berdiri tanpa melepaskan pisaunya.
“Berhenti!” Leon tiba-tiba berteriak, suaranya
berdenging dalam telinga Lily. “...kan memperdalam lukanya.”
Jawaban
Owl terdenger lemah, “Leon? Kau kah itu? Ke—kenapa?” Lily mengerti, Owl selalu
mengenal Leon sebagai temannya. Sikap naif kakaknya itu seringkali membuatnya khwatir,
dan benar saja, Leon lah orang yang mengumpankan keluarganya pada Rano.
Leon
tidak menjawabnya, ia malah kembali berteriak. “Jatuhkan ponselmu, lalu bawa
Fauzi ke mobil. Dan aku akan membiarkan adikmu ini hidup.”
Membiarkannya hidup. Lagi-lagi kalimat
itu, lima tahun terakhir merupakan neraka bagi Lily. Beban moral yang ia
tanggung karena makan uang haram. Dan untuk apa semua itu? Bertahan hidup? ‘Jangan sampai dia kabur, tutup mulutmu,
jangan buat kesalahan, bunuh dia, dan kubiarkan kau hidup’ Tiap detik kehidupannya
dalah karena kematian orang-orang tak bersalah, tapi untuk apa dia hidup? Untuk membuat lebih banyak kesalahan? Lebih banyak kematian?
Membuat orang-orang ini lebih berkuasa? Menghancurkan dunia?
“Leon,” Lily balas berbisik “Kau akan membiarkanku hidup
untuk membunuh Fauzi kan?” Lily tidak sanggup melepaskan diri dari Leon, ia
juga tidak bisa mencabut pisau itu dari dirinya sendiri. Ia tidak bisa
menyelamatkan diri saat ini, kecuali Leon melakukannya. Tapi bukan berarti ia
tidak bisa melakukan apapun “Tapi bagaimana jika aku yang mati?” Lily bisa menjatuhkan dirinya sendiri ke depan, dan
dia melakukannya, dia memperdalam lukanya sendiri. Luka yang tadinya tidak
seberapa itu kini menjadi fatal karena merobek organ dalamnya. Tak aka butuh
lama sampai Lily mati kehabisan darah. “Kak, selamatkan Fauzi!” adalah pesan
terakhirnya.
Owl menyaksikan itu dengan mata terbelalak, Leon sama terkejutnya
dengannya—itu bukan situsi yang sering ia hadapi, kehilangan kendali—tapi itu
tak akan bertahan lama. Dengan tidak adanya dilema saat ini Owl bisa segera
menerjangnya, pukulan di bawah rahang langsung membuatnya tak sadarkan diri. Ia
menatap mayat Lily sesaat, matanya terasa panas tapi ia harus segera pergi
sebelum Leon sadar. Bagaimana pun ia bukan tandingan Leon.
Fauzi tertidur begitu pulas sampai ia tak terbangun meski
dengan segala keributan tadi. Dengan jus jeruk yang ada di lantai, ia segera
sadar dengan apa yang baru saja terjadi. Buru-buru diangkatnya Fauzi dan di
dudukkan ke dalam mobilnya, pemberhentian berikutnya, rumah sakit.
Komentar
Posting Komentar
Minta kritik/saran/pendapatnya dong^^